Stove pipe sederhana |
Seketika otakku berputar seperti gangsing, begitu cepat. Memutar-mutar Jeans yang membalut bagian tubuh bawah pusar para wanita. Menyuguhkan lukisan indah melebihi lukisan picaso. Sayangnya lukisan indah itu tidak bertiket alias geratis tis tis..! Semua orang boleh melihat, sepuasnya. Hingga bola mata meloncat sekalipun. Mulai dari direktur bank hingga direktur PPRT Penarik Pajak Rumah Tangga, biasanya disebut pengamen bisa saja melihat bahkan berimajinasi liar terhadapnya.
Tidak. Tentu aku tidak akan sebodoh itu. Tubuhku, apalagi bagian Pusar ke bawah tidak akan aku obral. Walau sejuta teman-temanku yang menamakan dirinya aktivis feminis selalu berontak.
“kau itu memang penghalang kaum feminis. Dengan pemikiranmu begitu kau hanya akan memperparah Stereotype. Enak saja kita dikatakan obral, lah lelaki-lelaki yang biasanya telanjang dada kau katakana jantan?” begitulah mereka, para wanita yang selalu menuntut kesetaraan dengan laki-laki. Termasuk dalam menggunakan jeans.
Tapi aku tetaplah aku. Tubuhku juga tetap tubuhku. Sekali lagi tidak akan aku obral. Apalagi menjadi ladang pemasaran jeans. Diperdaya oleh pengusaha jeans. Daging yang membungkus tulang tanganku memang sama dengan daging yang dibungkus oleh pentisku, tetapi siapa bisa menjamin feed back dari setelah memandang keduanya. Tidak usah munafik dengan mengatakan ‘akh biasa-biasa saja, sama-sama daging’. Bijaksananya, kita boleh beraanggapan begitu, tapi benarkah orang lainpun akan begitu? Itu mengapa dalam salah satu agama mewajibkan seorang wanita menutup auratnya. Karena memang hakekatnya kita tidak bisa membunuh erotisme itu. Wong nyatanya lagi, tipsku selalu saja lebih tinggi ketika aku menari tanpa sehelai kainpun dihadapan penontonku ketimbang aku memakai rok super mini. Salahkah aku jika aku memasang harga mahal untuk tubuh dibawah pusarku? Satu juta saja.
0 komentar:
Posting Komentar