Ibenzani Hastomi*
“…Menggambar merupakan wujud pengeksplorasian teknis dan gaya, penggalian gagasan dan kreativitas, bahkan bisa menjadi sebuah ekspresi dan aktualisasi diri…
“…Menggambar merupakan wujud pengeksplorasian teknis dan gaya, penggalian gagasan dan kreativitas, bahkan bisa menjadi sebuah ekspresi dan aktualisasi diri…
(Veri Apriyatno dalam Cara Mudah
Menggambar dengan Pensil, 2006:1)
Minggu lalu, tepatnya 11 Maret 2012 saat
anak-anak Gubug belajar menggambar, saya bertanya pada mereka, “Adik-adik mau
menggambar apa?” Serempak mereka menjawab, “Menggambar pemandangan…” Saya pun
berpikir sejenak. Ya, pemandangan memang tema favorit saya saat SD. Kini
setelah beberapa tahun memori itu terekam kembali. Namun, dalam bayangan anak
SD, pasti pemandangan identik dengan gunung dua,
ada jalan yang mengular,
beberapa rumah, serta jajaran sawah serta padi yang baru saja ditanam.
Teori menggambar pemandangan tentu telah
mereka dapatkan di sekolah. Jika saya mengajarkan demikian di Gubug, mereka
pasti akan bosan dengan materi yang itu-itu saja. Lalu saya berpikir kenapa
tidak menggambar benda-benda di sekitar saja. Hasilnya, gelas yang ada di gubug
pun menjadi bidikan. Namun, dalam menggambar, saya beri anak-anak teori
sederhana yang saya dapatkan di bangku kuliah, yaitu memakai garis bantu.
Dengan garis bantu tipis-tipis ternyata anak-anak antusias dan objek gambar
mereka memiliki proporsi yang tak jauh dengan aslinya.
Di pertemuan kedua, yaitu tanggal 18
Maret 2012, saat saya mencoba mengulang materi minggu lalu, ternyata anak-anak
masih paham. Pertemuan kali ini diisi dengan materi sama, tetapi dengan objek
berbeda, yaitu vas bunga. Rasa takjub pun muncul, kreativitas mereka luar
biasa, kini mereka tak hanya menggambar vas bunga. Ada yang menggambar vas
bunga di atas meja, ada yang vas bunganya di dekat jendela, ada yang vas bunganya
seolah-olah dibingkai oleh pigura, bahkan bunga dalam vas pun lebih bervariasi.
Menurut saya, itulah pemandangan yang sebenarnya. Pemandangan alami yang
ditangkap indera anak-anak dari apa yang ada di sekitar, lalu mereka kembangkan
dengan imajinasi dan teknik penuangannya masing-masing. Ini bukan merupakan
pemandangan yang dibuat-buat, tetapi ini adalah buah kejujuran berekspresi dan
aktualisasi diri anak-anak.
Terakhir, yang tak kalah salutnya adalah
semangat mereka untuk belajar dan berproses. Itu bisa dilihat mulai dari mereka
berangkat dengan wajah ceria sambil bersepeda hingga saat mereka belajar di
gubug. Dengan fasilitas seadanya, mereka tampak tak mengeluh sedikitpun, bahkan
mereka menikmati proses dialektikanya masing-masing. Semangat inilah yang harus
diakomodasi agar tetap menyala pada generasi-generasi emas penerus perjuangan
bangsa. [*Pengajar Seni dan Budaya Gubug]
0 komentar:
Posting Komentar