Blogroll

Pages

Sabtu, 03 Maret 2012

Mukena Merah Untuk Emak


Telah dipublikasikan di SKM Minggu Pagi




Dingin seketika menusuk-nusuk sekujur tubuhku. Disambut panas yang aku yakin membekas biru tepat di paha kananku. Oalahemak menarik selimut tipisku, kemudian memaksaku bangun dengan pukulan tulang tangannya. Padahal malam itu masih larut. Purnama belum menuntaskan hajat.
Emak memang berkuasa terhadap hampir apapun dimataku. Akupun bangun dengan terpaksa sambil meringis menahan sakit dan kantuk. Suaminya, aku, dua adik kecilku, kami semua dalam kuasanya dan tidak bisa menolak kehendaknya. Jika sedikit saja kami berani
menolak maka ia tidak segan-segan mengayunkan benda-benda berat ke tubuh kami. Lelaki berbadan kurus kering yang sah menjadi suaminya tiga tahun lalupun tunduk. Emak selalu memaki-makinya kalau persedian beras habis. Setauku hanya satu yang tidak dikuasai emak. Uang.
Emak selalu memanjakan uang. Maka uang bisa menyelamatkan seseorang dari kebengisannya. Kami akan menemukan senyum di bibir emak, jika kami pulang dengan uang banyak. Aku sering melihatnya berlaku sangat manis pada tetangga yang kaya dan berlaku sebaliknya pada tetangga yang sama-sama kere. Aku sering bertanya, apakah ia tidak bisa melihat bahwa orang kaya jijik melihat kami? Dan semanis apapun kami bersikap pada mereka paling pol recehan juga yang mereka sisihkan.
Tapi sudahlah, itu memang sifat emak. Bukan salahnya kami kere. Juga bukan salah emak aku lahir menjadi anaknya. Tetapi yang membuatku terheran-heran adalah kebiasan emak beberapa hari terakhir. Tidak biasanya aku dibangunkan sebelum matahari meninggi. Emak biasanya bisa sedikit toleran. Setelah seharian aku dan adik-adikku jualan koran, ngamen, kadang-kadang mencopet dan baru pulang setelah hari larut. Maka ia akan membiarkan kami tidur sampai puas. Sampai kami tidak tahan sendiri dengan ganasnya sinar matahari yang menerobos melalui lobang-lobang besar atap rumah.
Lebih-lebih emak menyuruhku ke masjid. Seumur-umur aku hidup, belum pernah melihatnya sholat. Ia juga tidak pernah mengajariku cara-cara sholat. Yang aku tau hanya gerakan berdiri, setengah berdiri, nungging dan duduk. Bagaimana kami mau sholat, mukena saja tidak punya. Meski sejak kecil kami mendapat jatah zakat, juga mendapat bagian daging qurban kalau hari raya haji tiba. Tapi kami tetap tidak solat. Satu lagi, kami selalu mendapat penghasilan lumayan ketika bulan puasa seperti sekarang. Karena orang-orang mendadak menjadi begitu dermawan.
            Hendak bertaubatkah emak di bulan puasa ini? Masih bisa ngilerkah ia pada iming-iming susu yang mengalir seperti sungai, buah-buahan siap petik di surga. Makanya emak menyuruhku ke masjid? Agar aku beribadah dan bisa membangunkan istana megah untuknya? Hallah pret!. Emak tidak akan ngiler dengan surga yang hanya ada di benak orang bingung kehabisan mimpi. Kehabisan perkara untuk diandai-andaikan. Surga yang lagi-lagi hanya bisa dibeli dengan uang. Bagaimana tidak? Sedekah pakai uang, membantu orang miskin pakai uang, berdoa juga pakai uang. Biar bisa berdoa perut harus kenyang. Kalau tidak kenyang orang hanya akan mengeluh, menggerutu, mengumpat, menyumpahi ketidak adilan Tuhan. Kenyang jaman sekarang butuh uang. Jadi emak hanya akan ngiler sama uang.
            Kakiku melangkah kecil-kecil memasuki halaman masjid besar yang seperti istana. Apalagi di bulan puasa Masjid dipersimpangan jalan itu terlihat lebih bersih. Setiap pagi dipel penjaganya. Lampu-lampu memancar putih nyunar. Orang-orang yang datang ke masjidpun lebih banyak. Parkiran jadi penuh sesak. Orang-orang kaya memang gemar sholat di masjid besar ini ketika bulan puasa tiba. Aneh beberapa dari mereka ada yang menginap di masjid. Meski hanya duduk diam tanpa bicara. Mungkin mereka ingin merasakan bagaimana rasanya tidak punya rumah, tidak punya tempat tidur. Siangnya mereka coba-coba merasakan lapar.
Kuambil mukena yang terletak di lemari kaca. Baunya harum. Pasti habis dicucikan di binatu. Aku jadi senang mengenakannya. Mendadak merasa bersih dan sederajat dengan orang lain. Pada awalnya aku merasa kikuk mengikuti gerakan-gerakan sholat. Aku sering keliru berdiri padahal yang lainnya duduk. Tetapi aku tidak bisa mungkir dari perasaanku sendiri. Sholat dengan mukena wangi itu enak, hangat dan lembut. Berbaris dalam jamaah membuatku seperti naik kereta. Detak-detak jantung yang ku dekap dengan tangan menggoyangkan syaraf-srarafku mirip goyangan kereta ekonomi. Suara imam mendayu-dayu membuatku terkantuk-kantuk. Persis seperti dalam kereta bukan. Meski goyang-goyang tapi tetap ngantuk juga.
Sayangnya aku tidak bisa lama-lama mengenakan mukena. Aku harus segera menjalankan perintah emak. Begitu orang-orang menengok ke kanan dan kekiri tanda sholat sudah selesai aku segera membuka kain putih harum itu. Bergegas keluar. Mataku jalang melihat kesana-kemari. Aku mencoba mengingat-ingat merk sandal yang sering disebut-sebut Mince. Waria kaya raya. Mince selalu menyebut-nyebut bahwa sadalnya berharga ratusan remak. Kalau tidak salah namanya sandal Bonia. Tergiur dengan cerita Mince, aku terus mencari ke sana kemari. Namun karena takut kepergok, akhirnya asal saja mengambil sandal. Yang jelas aku tidak ambil sandal jepit. Tidak bakal laku.
Sandal-sandal hasil curiankupun menggunung di pojokan rumah. Menurut rencana, emak akan segera menjualnya pada penjual sandal bekas di pasar. Stelah menjual sandal-sandal itu emak tidak menyuruhku mencuri sandal lagi. Aku senang. Tapi ia masih menyuruhku ke masjid. Menurut emak orang-orang sudah mulai curiga. Ia katakan agar aku duduk lama-lama di masjid kemudian keluar begitu orang-orang sudah keluar. Dengan begitu maka orang-orang tidak akan mencurigai aku sebagai pencuri sandal. Aku turuti perkataannya, disamping aku sendiri memang suka berlama-lama mengenakan mukena. Duduk di pojokan, bersandar pada dinding dan melanjutkan tidur.
Lima malam sebelum lebaran. Emak sampai pada rencana gila. Rencana yang membuat aku susah tidur di pojokan masjid. Aku disuruh mengambil kotak infak. Di dalamnya banyak uang kertas, tidak jarang warnanya merah. Biasa uang penebusan dosa atau uang beli pahala. Aku berfikir keras bagaimana caranya agar kotak itu bisa aku bawa pulang. Ukurannya cukup besar dan terbuat dari kayu yang berat.
Aku memutuskan berangkat ke masjid lebih awal. Di masjid belum banyak orang. Aku duduk setelah mencari-cari posisi paling enak untuk terus memandang kotak infak. Aku amati dengan seksama. Samapailah mataku pada gembok berwarna kuning. Senyumkupun mengembang.
Begitu sholat selesai seperti biasa aku tetap duduk dan tidak beranjak pergi. Tetapi aku tidak tidur. Aku mengawasi kotak infak itu. Seorang lelaki berjenggot lebat mengambilnya. Memasukkannya ke dalam lemari yang ada di dekat tempat imam. Setelah itu ia menghilang di ruangan samping untuk memabaca Quran denggan suara nyaring. Tidak keluar keluar lagi. Sepengetahuanku ia akan keluar setelah hari terang untuk mengepel.
Hari berikutnya usai sholat aku langsung menuju ke toilet. Bersembunyi di salah satu kamar mandi dan tidak keluar sebelum aku dengar lelaki itu membaca Quran. Lantunan bismillah adalah komando untukku keluar. Perlahan menuju ke almari tempat kotak infak disimpan. Kukeluarkan kawat besi. Aku ambil uang di dalamnya dan aku masukkan ke kantong plastik. Sengaja kuambil uang kertas agar tidak menimbulkan bunyi. Lelaki itupun terus mengaji tanpa menyadari tindakkanku. Kotak infak aku gembok lagi, setelah setengah isinya aku ambil. Aku berterimakasih pada bang Gogon, preman pasar yang pernah mengajariku membobol gembok.
Emak berseri-seri melihat uang begitu banyak. Ia pergi ke pasar untuk membayar hutang dan membeli berkilo-kilo beras, sayur mayur dan daging. Kami sekeluarga makan enak untuk pertama kalinya sebelum tidur. Aku menyesap-nyesab tulang ayam hingga habis betul rasanya di lidah. Kami tidur dengan perasaan damai dan perut kenyang. Aku jadi semakin senang pergi ke masjid. Masjid orang-orang kaya yang tidak mengenal satu sama lain. Tapi itulah yang membuatku nyaman menelusup di barisan sholat mereka. Besok aku akan tidur di pojokan didingnya lagi.
Malam kedua sebelum bulan ramadhan berakhir, emak mengatakan padaku tentang keinginannya. Ia ingin kami pergi sholat idul fitri bersama-sama sekeluarga sayangnya kami tidak mempunyai mukena. Lalu ia menyuruhku mengambil semua mukena yang ada di masjid. ‘Gampang’ pikirku. Mengambil uang dari kotak infaq saja aku sukses, apalagi hanya mengambil mukena.
Sebelum penjaga masjid meneriakkan panggilan sholat melalui pengeras suara aku sudah duduk manis di masjid. Aku juga sudah memilih mukena yang ingin aku ambil. Kebetulan ada dua mukena kecil sudah agak kecoklatan. Untuk dua adikku. Sebuah mukena berrenda merah jambu untuk emak. Dan yang aku kenakan, untukku sendiri. Aku seperti sedang memilih dagangan baju-baju bekas. Riang rasanya karena tidak terbebani harga. Akupun berkali-kali bersiul dalam hati.
Selepas salam aku menuju ke kamar mandi. Menunggu komando dari si penjaga masjid. Begitu ia membaca bismillah maka aku boleh keluar. Tapi lama sekali penjaga masjid itu tidak segera mengucapkan bismillah. Semakin lama aku semakin bingung dan panik. Seketika kalimat itu menjadi mantra penyelamatku. Namun sayang dia tidak segera merapalkanya. Sayup-sayup dari kamar mandi yang kudengar adalah suara orang yang semakin banyak. Ada yang tertawa-tawa dan beberapa berbincang.
Aku mendengarkan mereka membicarakan tentang pencuri sandal. Rame-rame berdoa supaya pencuri sandal itu masuk neraka. Lalu seseorang berseru bahwa setelah dihitung-hitung kotak infaq isinya kurang. Aneh juga mendengar mereka mengetahui kalau isinya kurang, apa selama ini mereka menghitung-hitung berapa jumlah yang mereka infakkan. Lantas terdengar gaduh. Umpatan dan makianpun mereka serukan. Aku hanya bisa menggigil di dalam kamar mandi. Sedangkan bayangan emak masih membuntutiku. Aku harus mendapatkan mukena itu bagaimanapun keadaanya.
Aku beranikan diri keluar. Mereka yang berkumpul di pelataran masjid tidak menyadari keberadaanku. Dengan tekad bulat aku mengendap masuk dan memunguti satu demi satu mukena. Plastik yang aku bawa mendadak hilang mungkin jatuh di kamar mandi. Maka mukena itupun aku masukkan di balik baju. Sehingga terlihat buncit. Aku mencoba mencari celah untuk bisa keluar. Tapi kelihatanya sulit. Orang-orang itu rupanya tengah merapikan rumput di halaman masjid untuk persiapan sholat idul fitri .
Aku bergaya sok tenang melewati mereka. Dengan tetap memegangi baju menyembunyikan mukena. Awalnya mereka biasa saja. Namun dari kejauhan aku mulai mendengar bisik-bisik. Berkali-kali pula aku dengar panggilan ‘hei!’ dari mereka, tapi aku tidak menoleh. Aku terus berjalan dan tanpa ku sadari aku mulai berlari sekencang-kencangnya. Ketika ku tengok mereka mengejarku. Nafasku memburu. Langkah ku pacu.
Bau amis menyeruak seketika. Mukena putih berhamburan menjelma menjadi merah terbasuh oleh darahku yang mengalir seperti anak sungai. Dari perbincangan orang-orang yang segera mengerumuniku aku mendengar sebuah truk pengangkut melaju dengan kecepatan tinggi dari arah utara. Tubuhku terpental ketika aku yang berlari ke tengah jalan terterjang olehnya. Dari kerumunan kurasakan kehadiran emak. Haru biru dia menangis menjumpai aku yang sudah tak berbentuk. Ia pungut mukena merah darah dan ia tutupkan pada sekujur tubuhku yang telah merah pula.
10 september 2009   
   

    
        

0 komentar:

Posting Komentar