Telah dipublikasikan di SKM Minggu Pagi
Dingin
seketika menusuk-nusuk sekujur tubuhku. Disambut panas yang aku yakin membekas
biru tepat di paha kananku. Oalah… emak menarik selimut tipisku, kemudian
memaksaku bangun dengan pukulan tulang tangannya. Padahal malam itu masih
larut. Purnama belum menuntaskan hajat.
Emak memang berkuasa terhadap hampir apapun
dimataku. Akupun bangun dengan terpaksa sambil meringis menahan sakit dan
kantuk. Suaminya, aku, dua adik kecilku, kami semua dalam kuasanya dan tidak
bisa menolak kehendaknya. Jika sedikit saja kami berani
menolak maka ia tidak segan-segan mengayunkan benda-benda berat ke tubuh kami. Lelaki berbadan kurus kering yang sah menjadi suaminya tiga tahun lalupun tunduk. Emak selalu memaki-makinya kalau persedian beras habis. Setauku hanya satu yang tidak dikuasai emak. Uang.
menolak maka ia tidak segan-segan mengayunkan benda-benda berat ke tubuh kami. Lelaki berbadan kurus kering yang sah menjadi suaminya tiga tahun lalupun tunduk. Emak selalu memaki-makinya kalau persedian beras habis. Setauku hanya satu yang tidak dikuasai emak. Uang.
Emak selalu memanjakan uang. Maka uang
bisa menyelamatkan seseorang dari kebengisannya. Kami akan menemukan senyum di
bibir emak, jika kami pulang dengan
uang banyak. Aku sering melihatnya berlaku sangat manis pada tetangga yang kaya
dan berlaku sebaliknya pada tetangga yang sama-sama kere. Aku sering bertanya,
apakah ia tidak bisa melihat bahwa orang kaya jijik melihat kami? Dan semanis
apapun kami bersikap pada mereka paling pol
recehan juga yang mereka sisihkan.
Tapi
sudahlah, itu memang sifat emak.
Bukan salahnya kami kere. Juga bukan salah emak
aku lahir menjadi anaknya. Tetapi yang membuatku terheran-heran adalah kebiasan
emak beberapa hari terakhir. Tidak
biasanya aku dibangunkan sebelum matahari meninggi. Emak biasanya bisa sedikit toleran. Setelah seharian aku dan
adik-adikku jualan koran, ngamen, kadang-kadang mencopet dan baru pulang
setelah hari larut. Maka ia akan membiarkan kami tidur sampai puas. Sampai kami
tidak tahan sendiri dengan ganasnya sinar matahari yang menerobos melalui
lobang-lobang besar atap rumah.
Lebih-lebih
emak menyuruhku ke masjid.
Seumur-umur aku hidup, belum pernah melihatnya sholat. Ia juga tidak pernah
mengajariku cara-cara sholat. Yang aku tau hanya gerakan berdiri, setengah
berdiri, nungging dan duduk. Bagaimana kami mau sholat, mukena saja tidak
punya. Meski sejak kecil kami mendapat jatah zakat, juga mendapat bagian daging
qurban kalau hari raya haji tiba. Tapi kami tetap tidak solat. Satu lagi, kami
selalu mendapat penghasilan lumayan ketika bulan puasa seperti sekarang. Karena
orang-orang mendadak menjadi begitu dermawan.
Hendak bertaubatkah emak di bulan puasa ini? Masih bisa ngilerkah ia pada iming-iming susu yang
mengalir seperti sungai, buah-buahan siap petik di surga. Makanya emak menyuruhku ke masjid? Agar aku
beribadah dan bisa membangunkan istana megah untuknya? Hallah pret!. Emak tidak akan ngiler
dengan surga yang hanya ada di benak orang bingung kehabisan mimpi. Kehabisan
perkara untuk diandai-andaikan. Surga yang lagi-lagi hanya bisa dibeli dengan
uang. Bagaimana tidak? Sedekah pakai uang, membantu orang miskin pakai uang,
berdoa juga pakai uang. Biar bisa berdoa perut harus kenyang. Kalau tidak
kenyang orang hanya akan mengeluh, menggerutu, mengumpat, menyumpahi ketidak
adilan Tuhan. Kenyang jaman sekarang butuh uang. Jadi emak hanya akan ngiler sama uang.
Kakiku melangkah kecil-kecil
memasuki halaman masjid besar yang seperti istana. Apalagi di bulan puasa Masjid
dipersimpangan jalan itu terlihat lebih bersih. Setiap pagi dipel penjaganya.
Lampu-lampu memancar putih nyunar. Orang-orang
yang datang ke masjidpun lebih banyak. Parkiran jadi penuh sesak. Orang-orang
kaya memang gemar sholat di masjid besar ini ketika bulan puasa tiba. Aneh
beberapa dari mereka ada yang menginap di masjid. Meski hanya duduk diam tanpa
bicara. Mungkin mereka ingin merasakan bagaimana rasanya tidak punya rumah,
tidak punya tempat tidur. Siangnya mereka coba-coba merasakan lapar.
Kuambil
mukena yang terletak di lemari kaca. Baunya harum. Pasti habis dicucikan di
binatu. Aku jadi senang mengenakannya. Mendadak merasa bersih dan sederajat
dengan orang lain. Pada awalnya aku merasa kikuk mengikuti gerakan-gerakan
sholat. Aku sering keliru berdiri padahal yang lainnya duduk. Tetapi aku tidak
bisa mungkir dari perasaanku sendiri. Sholat dengan mukena wangi itu enak,
hangat dan lembut. Berbaris dalam jamaah membuatku seperti naik kereta.
Detak-detak jantung yang ku dekap dengan tangan menggoyangkan syaraf-srarafku
mirip goyangan kereta ekonomi. Suara imam mendayu-dayu membuatku
terkantuk-kantuk. Persis seperti dalam kereta bukan. Meski goyang-goyang tapi
tetap ngantuk juga.
Sayangnya
aku tidak bisa lama-lama mengenakan mukena. Aku harus segera menjalankan
perintah emak. Begitu orang-orang
menengok ke kanan dan kekiri tanda sholat sudah selesai aku segera membuka kain
putih harum itu. Bergegas keluar. Mataku jalang melihat kesana-kemari. Aku
mencoba mengingat-ingat merk sandal
yang sering disebut-sebut Mince. Waria kaya raya. Mince selalu menyebut-nyebut
bahwa sadalnya berharga ratusan remak.
Kalau tidak salah namanya sandal Bonia.
Tergiur dengan cerita Mince, aku terus mencari ke sana kemari. Namun karena takut kepergok, akhirnya
asal saja mengambil sandal. Yang jelas aku tidak ambil sandal jepit. Tidak
bakal laku.
Sandal-sandal
hasil curiankupun menggunung di pojokan rumah. Menurut rencana, emak akan segera menjualnya pada penjual
sandal bekas di pasar. Stelah menjual sandal-sandal itu emak tidak menyuruhku
mencuri sandal lagi. Aku senang. Tapi ia masih menyuruhku ke masjid. Menurut emak orang-orang sudah mulai curiga. Ia
katakan agar aku duduk lama-lama di masjid kemudian keluar begitu orang-orang
sudah keluar. Dengan begitu maka orang-orang tidak akan mencurigai aku sebagai
pencuri sandal. Aku turuti perkataannya, disamping aku sendiri memang suka
berlama-lama mengenakan mukena. Duduk di pojokan, bersandar pada dinding dan
melanjutkan tidur.
Lima malam sebelum
lebaran. Emak sampai pada rencana gila.
Rencana yang membuat aku susah tidur di pojokan masjid. Aku disuruh mengambil
kotak infak. Di dalamnya banyak uang kertas, tidak jarang warnanya merah. Biasa
uang penebusan dosa atau uang beli pahala. Aku berfikir keras bagaimana caranya
agar kotak itu bisa aku bawa pulang. Ukurannya cukup besar dan terbuat dari
kayu yang berat.
Aku
memutuskan berangkat ke masjid lebih awal. Di masjid belum banyak orang. Aku
duduk setelah mencari-cari posisi paling enak untuk terus memandang kotak
infak. Aku amati dengan seksama. Samapailah mataku pada gembok berwarna kuning.
Senyumkupun mengembang.
Begitu
sholat selesai seperti biasa aku tetap duduk dan tidak beranjak pergi. Tetapi
aku tidak tidur. Aku mengawasi kotak infak itu. Seorang lelaki berjenggot lebat
mengambilnya. Memasukkannya ke dalam lemari yang ada di dekat tempat imam. Setelah
itu ia menghilang di ruangan samping untuk memabaca Quran denggan suara nyaring.
Tidak keluar keluar lagi. Sepengetahuanku ia akan keluar setelah hari terang untuk
mengepel.
Hari
berikutnya usai sholat aku langsung menuju ke toilet. Bersembunyi di salah satu
kamar mandi dan tidak keluar sebelum aku dengar lelaki itu membaca Quran. Lantunan
bismillah adalah komando untukku
keluar. Perlahan menuju ke almari tempat kotak infak disimpan. Kukeluarkan
kawat besi. Aku ambil uang di dalamnya dan aku masukkan ke kantong plastik.
Sengaja kuambil uang kertas agar tidak menimbulkan bunyi. Lelaki itupun terus
mengaji tanpa menyadari tindakkanku. Kotak infak aku gembok lagi, setelah
setengah isinya aku ambil. Aku berterimakasih pada bang Gogon, preman pasar
yang pernah mengajariku membobol gembok.
Emak berseri-seri melihat uang begitu
banyak. Ia pergi ke pasar untuk membayar hutang dan membeli berkilo-kilo beras,
sayur mayur dan daging. Kami sekeluarga makan enak untuk pertama kalinya
sebelum tidur. Aku menyesap-nyesab tulang ayam hingga habis betul rasanya di
lidah. Kami tidur dengan perasaan damai dan perut kenyang. Aku jadi semakin
senang pergi ke masjid. Masjid orang-orang kaya yang tidak mengenal satu sama
lain. Tapi itulah yang membuatku nyaman menelusup di barisan sholat mereka. Besok
aku akan tidur di pojokan didingnya lagi.
Malam
kedua sebelum bulan ramadhan berakhir, emak
mengatakan padaku tentang keinginannya. Ia ingin kami pergi sholat idul fitri
bersama-sama sekeluarga sayangnya kami tidak mempunyai mukena. Lalu ia menyuruhku
mengambil semua mukena yang ada di masjid. ‘Gampang’
pikirku. Mengambil uang dari kotak infaq saja aku sukses, apalagi hanya
mengambil mukena.
Sebelum
penjaga masjid meneriakkan panggilan sholat melalui pengeras suara aku sudah
duduk manis di masjid. Aku juga sudah memilih mukena yang ingin aku ambil.
Kebetulan ada dua mukena kecil sudah agak kecoklatan. Untuk dua adikku. Sebuah
mukena berrenda merah jambu untuk emak.
Dan yang aku kenakan, untukku sendiri. Aku seperti sedang memilih dagangan
baju-baju bekas. Riang rasanya karena tidak terbebani harga. Akupun
berkali-kali bersiul dalam hati.
Selepas
salam aku menuju ke kamar mandi. Menunggu komando dari si penjaga masjid.
Begitu ia membaca bismillah maka aku
boleh keluar. Tapi lama sekali penjaga masjid itu tidak segera mengucapkan bismillah. Semakin lama aku semakin
bingung dan panik. Seketika kalimat itu menjadi mantra penyelamatku. Namun
sayang dia tidak segera merapalkanya. Sayup-sayup dari kamar mandi yang
kudengar adalah suara orang yang semakin banyak. Ada yang tertawa-tawa dan beberapa
berbincang.
Aku
mendengarkan mereka membicarakan tentang pencuri sandal. Rame-rame berdoa
supaya pencuri sandal itu masuk neraka. Lalu seseorang berseru bahwa setelah
dihitung-hitung kotak infaq isinya kurang. Aneh juga mendengar mereka
mengetahui kalau isinya kurang, apa selama ini mereka menghitung-hitung berapa
jumlah yang mereka infakkan. Lantas terdengar gaduh. Umpatan dan makianpun
mereka serukan. Aku hanya bisa menggigil di dalam kamar mandi. Sedangkan
bayangan emak masih membuntutiku. Aku
harus mendapatkan mukena itu bagaimanapun keadaanya.
Aku
beranikan diri keluar. Mereka yang berkumpul di pelataran masjid tidak
menyadari keberadaanku. Dengan tekad bulat aku mengendap masuk dan memunguti
satu demi satu mukena. Plastik yang aku bawa mendadak hilang mungkin jatuh di
kamar mandi. Maka mukena itupun aku masukkan di balik baju. Sehingga terlihat
buncit. Aku mencoba mencari celah untuk bisa keluar. Tapi kelihatanya sulit.
Orang-orang itu rupanya tengah merapikan rumput di halaman masjid untuk
persiapan sholat idul fitri .
Aku
bergaya sok tenang melewati mereka. Dengan tetap memegangi baju menyembunyikan
mukena. Awalnya mereka biasa saja. Namun dari kejauhan aku mulai mendengar
bisik-bisik. Berkali-kali pula aku dengar panggilan ‘hei!’ dari mereka, tapi
aku tidak menoleh. Aku terus berjalan dan tanpa ku sadari aku mulai berlari
sekencang-kencangnya. Ketika ku tengok mereka mengejarku. Nafasku memburu.
Langkah ku pacu.
Bau
amis menyeruak seketika. Mukena putih berhamburan menjelma menjadi merah
terbasuh oleh darahku yang mengalir seperti anak sungai. Dari perbincangan
orang-orang yang segera mengerumuniku aku mendengar sebuah truk pengangkut
melaju dengan kecepatan tinggi dari arah utara. Tubuhku terpental ketika aku
yang berlari ke tengah jalan terterjang olehnya. Dari kerumunan kurasakan
kehadiran emak. Haru biru dia
menangis menjumpai aku yang sudah tak berbentuk. Ia pungut mukena merah darah
dan ia tutupkan pada sekujur tubuhku yang telah merah pula.
10 september 2009
0 komentar:
Posting Komentar