Telah diterbitkan SKH KR Yogyakarta
Roda
mobil terus menggelinding, menggilas aspal hitam yang ikhlas. Di dalam mobil
duduk Mahesa dan Istrinya Wina. Kedua buah hati mereka Sasa dan Bilal tidur pulas
di kursi belakang. Terbuai mimpi mengunjungi kakek dan neneknya di desa,
bergelayut manja sambil menikmati percakapan angin dan cemara. Sedangkan
sayup-sayup ‘Goodbye my lover’nya James Blunt menghujamkan belati ke
alam fikiran Mahesa dan Wina.
Dalam
benak Mahesa berkelebat kenangan masa lalu. Terlihat sosoknya dua puluh tahun silam
ketika dia menjadi seorang staf desain grafis. Gajinya masih jauh dari cukup
untuk menghidupi Wina dan Sasa anak pertamanya. Hidup di kota tidak murah semua
butuh uang. Beruntung Mahesa memiliki istri seperti Wina yang selalu bisa
membelanjakan gajinya tanpa mengeluh. Menyadari kekurangan itu, dengan kejantanan yang sedikit terluka ia ijinkan
istrinya ikut bekerja. Selama orang desa tidak tau maka Wina boleh bekerja.
Mahesa tidak menyangka istrinya begitu mudah bersosialisasi dengan lingkungan kota. Sebelumnya Wina adalah gadis desa, pemalu dan tidak pandai bergaul. Bapaknya memiliki warung kelontong cukup besar, begitu lulus sekolah menengah Wina sibuk mengurusi warung hingga menikah. Masih jelas dalam ingatan Mahesa betapa Wina menolak keras untuk pindah ke kota. Ketika itu Mahesa diterima bekerja di tempat kerjanya sekarang.
“Akh sudahlah Mas, kenapa kita harus
pindah ke kota? Tidak usah terlalu ngoyo
mengejar pekerjaan. Warung kelontong bapakkan cukup menghidupi kita?”
Mahesa
tidak bergeming. Pekerjaan sebagai staf desain grafis tidak akan pernah dia tolak.
Apalagi ini menyangkut martabatnya sebagai suami.
“Apa kata orang nanti Wina, mas adalah seorang
sarjana, malu jika tidak bisa mencari pekerjaan, hanya mengandalkan usaha
keluargamu.” Wina tidak bisa merajuk
lagi, sebagai istri yang baik ia wajib menjunjung martabat suami.
Tahun
demi tahun kehidupan ekonomi mereka beragsur-angsur membaik. Wina rajin
menyisihkan uang gaji Mahesa. Dalam satu tahun mereka bisa lebih dari sekali
pulang mengunjungi keluarga. Keluarga di desa begitu bahagia melihat Wina hidup
makmur dengan Mahesa. Ibu dan bapak Wina Merasa benar-benar tepat memilih
menantu.
Sempat
di tahun ke lima kepulangan Wina, kedua orang tua itu tidak mengenali putrinya
sendiri. Wina berubah dari ujung rambut hingga ujung kaki. Hitam legam rambut
Wina menjadi begitu lurus dengan sapuan warna kecoklatan yang lembut. Tubuhnya
dibalut kain mahal cashmere.
”Kasur,
sumur, dapur begitu to ibu? Saya musti dandan secantik mungkin agar kasur tetap
menjadi milik saya.” Ungkap Wina sambil membuka kacamata besar yang hampir
menutup sepertiga wajahnya. Ibunya mengangguk. Ragu-ragu memeluk tubuh anaknya
sendiri yang berubah menjadi begitu wangi.
Mahesa sendiri tidak begitu mengerti
dengan perubahan istrinya. Ia tidak pernah tau darimana istrinya bisa berdandan
sedemikian cantik, bersikap begitu supel dan ramah. Meskipun begitu puji-pujian tidak henti terlontar untuk Mahesa
yang sukses. Mampu menghidupi keluarga, merawat anak istri. Pulang ke desa
dengan gagah. Di desa Wina, sedikit
orang mampu mendulang sukses hidup di kota.
Gemerlap
kota yang menyimpan gairah memalingkan Mahesa dari kisah perjalanan istrinya
sendiri. Wajar saja jika ia tidak benar-benar mengerti tentang metamorfosa Wina.
Mahesa juga tidak pernah mengetahui kesulitan Wina mengepulkan asap di dapur. Demi
pagi yang kurang tanpa sarapan dan malam yang ganjil tanpa makan malam Wina
rela mencuci pakaian yang memiliki berjuta aroma keringat berbeda. Lama-lama ia
merasakan getir di ulu hatinya. Ia tidak ingin selamanya menjadi tukang cuci.
Ia berharap menjadi wanita yang mengenakan baju-baju indah itu. Namun jika
harus menunggu suaminya sukses tentu itu membutuhkan waktu lama. Bahkan untuk
makan saja Wina harus diam-diam banting tulang.
Sementara itu kepalanya mendadak menjadi
pening ketika mengingat suaminya setiap hari bertemu dengan wanita-wanita
cantik yang hanya mengenakan rok mini atau hot pen. Membuat kaki jenjang
terlihat menantang. Iblis menebar debar di hatinya. Jika boleh ia memohon pada
setiap wanita agar jagan berbuat begitu. Agar ia lebih tenang menanak nasi di
rumah. Agar ia bisa makan lahap tanpa takut lemak tumbuh di sana sini. Tetapi
itu sesuatu yang tidak mungkin. Protes yang hanya akan dibawa kabur angin lalu.
Wina yakin pada dirinya sendiri dia mampu menjadi wanita terbaik bagi Mahesa.
Maka ia terus berusaha agar tidak tergilas oleh roda kota.
Dengan tekat bulat Wina yakin bisa
berhasil merintis usaha yang lebih baik. Cincin pernikahanpun Wina jual untuk memulai
usaha. Ia mengambil baju-baju butik kemudian dijualnya ketika arisan.Hingga
cincin kembali dikenakan di jemari, Mahesa tidak pernah tau bahwa cincin itu
bukanlah cincin pernikahan mereka.
Usaha Wina membuahkan hasil. Sebuah butik
yang cukup ramai di bawah kuasanya. Sehingga ia tidak perlu takut menghadapi
jam makan. Ia bisa membeli baju yang ia suka. Seminggu sekali pergi ke salon.
Iapun tidak ketinggalan meng update tren makeup. Begitulah Wina memerankan diri
sebagai istri. Tanpa sedikitpun berfikir emansipasi. Hanya keinginan menjaga
rumah tangga dan kesetiaan.
”Mahesa
tidak pernah membiarkan kami tidur dalam keadaan lapar Bu” ungkap Wina pada
ibunya. Senyum lega dan usapan sayang diiringi pesan untuk selalu memberikan
kesenangan pada suami diterima Wina dengan taat.
Sedangkan di
kantor Mahesa, Winapun menjadi perbincangan teman-teman kerjanya. Mahesa mulai
merasakannya ketika ia naik jabatan menjadi junior
art director. Sayangnya bukan karena kepiawaian Wina mengatur rumah tangga
juga bukan karena kepandaian Wina berdandan. Rekan-rekan kerja Mahesa lebih
suka menanyakan mengapa Mahesa bisa menikahi Wina. Wanita yang tetap saja udik
menurut mereka.
Mahesa sering
mengajak Wina ke berbagai pertemuan dengan rekan-rekan kerja atau ke acara
makan-makan teman kampusnya. Namun belakangan ia merasa kasihan melihat
istrinya diam seribu bahasa sedangkan ia asyik membicarakan hal-hal yang
istrinya tidak tau. Meskipun begitu ia tidak ingin berpisah dari Wina. Wanita-wanita
muda, energik dan cerdas yang sesekali ia ajak menghabiskan malam di kamar
hotel tidak bisa menggantikan Wina sebagai
istri. Karena sesungguhnya Winalah martabat tertinggi miliknya. Dengan
Wina tetap di sisinya maka lengkaplah ia sebagai lelaki bertanggung jawab dan
setia.
Lagi-lagi soal
martabat. Martabat Mahesa melonglong meminta diperhatikan
ketika dia sekali lagi naik jabatan. Seketika mengangkat martabatnya menjadi begitu
agung di kantor. Dunia Mahesa berubah. Menjadi begitu ramai oleh pesta-pesta,
pertemuan dengan relasi dan klien di café, teman-teman baru baik lelaki dan
wanita. Semuanya membuat Mahesa semakin bergairah menaklukkan gemerlap dunia. Peran
sebagai suami dan ayah tetap ia mainkan dengan apik di rumah. Hanya di rumah.
“Semakin bermartabat seseorang, maka
keluarganya harus semakin mengerti bahwa orang itu tidak lagi hanya milik
keluarga. Aku harus menghadiri begitu banyak meeting, dan setumpuk undangan menggunung di meja kerjaku”
Begitulah Mahesa selalu menerangkan betapa
penting dirinya di kantor dan betapa
tinggi martabatnya. Jika sudah begitu Wina akan menelan senyumnya mengingatkan
Mahesa mengecup keningnya sebelum berangkat mempertahankan martabat. Ironis
ketika semua orang memuji suaminya, mengakuinya sebagai lelaki yang bermartabat
tidak begitu halnya dengan Wina. Ia tersenyum getir, mengingat begitu banyak
malam yang harus ia nikmati dengan dingin di kamarnya. Dua puluh tahun sudah
Wina mendampingi suaminya, selama itu pula Wina menjaga martabat suaminya.
Menyulami martabat itu dengan bunga-bunga kesetiaan dan tak jarang ngilu di
sekujur tubuh. Tapi terasa sia-sia karena ia semakin jarang mendengar dengkur
atau keratan gigi ketika ia terlelap tidur di sampingnya.
Sampai pada ketika Wina benar-benar merasa
kesepian. Ia tidak mau lagi sunyi menggagahinya, menidurinya setiap malam. Ia
merindukan degup jantung lelaki untuk meninabobokannya. Tetapi Mahesa tidak
pernah mengerti. Saat gelap tertelan cahaya purnama Wina sudah tertidur pulas
di dekapan seorang lelaki. Tetapi bukan Mahesa. Mereka lelap tertidur di atas
ranjang milik Wina dan Mahesa, tidak terdengar deritan pintu tersingkap oleh
tangan Mahesa. Harga diri Mahesa yang terkoyak menyulut amarah.
***
Give me reason but don’t
give me choice.. couse I’ll just make the same mistake... James
blunt masih terus menyanyi, udara malam terus menari-nari. Wina beringsut
meraih pundak Mahesa. Ia sandarkan kepalanya. Mahesa tidak menolak namun ia
tetap diam dan terus saja menyetir.
“Apakah
bercerai sudah menjadi pilihanmu yang terakhir Pa?” Mahesa
merasakan pundaknya mulai basah, tapi ia tetap diam.
“Tidak
bisakah kita perbaiki lagi? Demi martabat kita bersama. Dimata
anak-anak, keluarga dan orang-orang desa. Aku tidak akan pernah bercerita
tentang perselingkuhan Papa dengan wanita-wanita itu, begitu juga sebaliknya.
Kemudian kita mulai dari awal lagi. Hidup di desa, mencari cinta Pa bukan
martabat”
Mahesa
semakin tidak mempunyai kata-kata, Hancur sudah pertahanan dirinya. Ia
tidak pernah menyangka istrinya tau perihal wanita lain dalam hidupnya. Teriakan
tanpa pikiran utuh pun menggelagak.
”Akan
tetap kupulangkan kau ke rumah orangtuamu!”
Mobil
terus melaju dalam kecepatan tinggi. Sebentar lagi bintang bercerai dengan
malam. Bumi siap menerima limpahan cinta yang meluap dari surya. Tapi, kapan
sampai di desa? Entahlah. Jalan pulang kali ini terasa berkelok dan sangat
jauh.
Jalan pulang yang dikepung air mata.
Yogyakarta 7 Agustus 2009
like (n)this yoooo, visualisasinya sangat hidup and I Love it, suka banggget lah.... tapi sedikit kripik yo, hehe, kritik masksudnya... kok ceritane mung iki: perselingkuhan, free sex, cerita mocikari seperti yang kemarin itu, sex and sex lagi. Gak asih toh... suguhkanlah sebuah cerita yang membuat orang semangat beribadah lagi dan kembali ke jalan Tuhan ka... Ini permintaan penggemar lho ka...
BalasHapusin Proses bos... wait ya... tingkyu much!
BalasHapus