Blogroll

Pages

Sabtu, 03 Maret 2012

Jalan Pulang

Telah diterbitkan SKH KR Yogyakarta

Roda mobil terus menggelinding, menggilas aspal hitam yang ikhlas. Di dalam mobil duduk Mahesa dan Istrinya Wina. Kedua buah hati mereka Sasa dan Bilal tidur pulas di kursi belakang. Terbuai mimpi mengunjungi kakek dan neneknya di desa, bergelayut manja sambil menikmati percakapan angin dan cemara. Sedangkan sayup-sayup ‘Goodbye my lover’nya James Blunt menghujamkan belati ke alam fikiran Mahesa dan Wina.
Dalam benak Mahesa berkelebat kenangan masa lalu. Terlihat sosoknya dua puluh tahun silam ketika dia menjadi seorang staf desain grafis. Gajinya masih jauh dari cukup untuk menghidupi Wina dan Sasa anak pertamanya. Hidup di kota tidak murah semua butuh uang. Beruntung Mahesa memiliki istri seperti Wina yang selalu bisa membelanjakan gajinya tanpa mengeluh. Menyadari kekurangan itu, dengan kejantanan yang sedikit terluka ia ijinkan istrinya ikut bekerja. Selama orang desa tidak tau maka Wina boleh bekerja.  

Mahesa tidak menyangka istrinya begitu mudah bersosialisasi dengan lingkungan kota. Sebelumnya  Wina adalah gadis desa, pemalu dan tidak pandai bergaul. Bapaknya memiliki warung kelontong cukup besar, begitu lulus sekolah menengah Wina sibuk mengurusi warung hingga menikah. Masih jelas dalam ingatan Mahesa betapa Wina menolak keras untuk pindah ke kota. Ketika itu Mahesa diterima bekerja di tempat kerjanya sekarang.  
  “Akh sudahlah Mas, kenapa kita harus pindah ke kota? Tidak usah terlalu ngoyo mengejar pekerjaan. Warung kelontong bapakkan  cukup menghidupi kita?”
            Mahesa tidak bergeming. Pekerjaan sebagai staf desain grafis tidak akan pernah dia tolak. Apalagi ini menyangkut martabatnya sebagai suami.
             “Apa kata orang nanti Wina, mas adalah seorang sarjana, malu jika tidak bisa mencari pekerjaan, hanya mengandalkan usaha keluargamu.”  Wina tidak bisa merajuk lagi, sebagai istri yang baik ia wajib menjunjung martabat suami.
            Tahun demi tahun kehidupan ekonomi mereka beragsur-angsur membaik. Wina rajin menyisihkan uang gaji Mahesa. Dalam satu tahun mereka bisa lebih dari sekali pulang mengunjungi keluarga. Keluarga di desa begitu bahagia melihat Wina hidup makmur dengan Mahesa. Ibu dan bapak Wina Merasa benar-benar tepat memilih menantu.
            Sempat di tahun ke lima kepulangan Wina, kedua orang tua itu tidak mengenali putrinya sendiri. Wina berubah dari ujung rambut hingga ujung kaki. Hitam legam rambut Wina menjadi begitu lurus dengan sapuan warna kecoklatan yang lembut. Tubuhnya dibalut kain mahal cashmere.
            ”Kasur, sumur, dapur begitu to ibu? Saya musti dandan secantik mungkin agar kasur tetap menjadi milik saya.” Ungkap Wina sambil membuka kacamata besar yang hampir menutup sepertiga wajahnya. Ibunya mengangguk. Ragu-ragu memeluk tubuh anaknya sendiri yang berubah menjadi begitu wangi.
Mahesa sendiri tidak begitu mengerti dengan perubahan istrinya. Ia tidak pernah tau darimana istrinya bisa berdandan sedemikian cantik, bersikap begitu supel dan ramah. Meskipun begitu   puji-pujian tidak henti terlontar untuk Mahesa yang sukses. Mampu menghidupi keluarga, merawat anak istri. Pulang ke desa dengan gagah. Di desa Wina,  sedikit orang mampu mendulang sukses hidup di kota.
            Gemerlap kota yang menyimpan gairah memalingkan Mahesa dari kisah perjalanan istrinya sendiri. Wajar saja jika ia tidak benar-benar mengerti tentang metamorfosa Wina. Mahesa juga tidak pernah mengetahui kesulitan Wina mengepulkan asap di dapur. Demi pagi yang kurang tanpa sarapan dan malam yang ganjil tanpa makan malam Wina rela mencuci pakaian yang memiliki berjuta aroma keringat berbeda. Lama-lama ia merasakan getir di ulu hatinya. Ia tidak ingin selamanya menjadi tukang cuci. Ia berharap menjadi wanita yang mengenakan baju-baju indah itu. Namun jika harus menunggu suaminya sukses tentu itu membutuhkan waktu lama. Bahkan untuk makan saja Wina harus diam-diam banting tulang.  
Sementara itu kepalanya mendadak menjadi pening ketika mengingat suaminya setiap hari bertemu dengan wanita-wanita cantik yang hanya mengenakan rok mini atau hot pen. Membuat kaki jenjang terlihat menantang. Iblis menebar debar di hatinya. Jika boleh ia memohon pada setiap wanita agar jagan berbuat begitu. Agar ia lebih tenang menanak nasi di rumah. Agar ia bisa makan lahap tanpa takut lemak tumbuh di sana sini. Tetapi itu sesuatu yang tidak mungkin. Protes yang hanya akan dibawa kabur angin lalu. Wina yakin pada dirinya sendiri dia mampu menjadi wanita terbaik bagi Mahesa. Maka ia terus berusaha agar tidak tergilas oleh roda kota.
Dengan tekat bulat Wina yakin bisa berhasil merintis usaha yang lebih baik. Cincin pernikahanpun Wina jual untuk memulai usaha. Ia mengambil baju-baju butik kemudian dijualnya ketika arisan.Hingga cincin kembali dikenakan di jemari, Mahesa tidak pernah tau bahwa cincin itu bukanlah cincin pernikahan mereka.
Usaha Wina membuahkan hasil. Sebuah butik yang cukup ramai di bawah kuasanya. Sehingga ia tidak perlu takut menghadapi jam makan. Ia bisa membeli baju yang ia suka. Seminggu sekali pergi ke salon. Iapun tidak ketinggalan meng update tren makeup. Begitulah Wina memerankan diri sebagai istri. Tanpa sedikitpun berfikir emansipasi. Hanya keinginan menjaga rumah tangga dan kesetiaan.
            ”Mahesa tidak pernah membiarkan kami tidur dalam keadaan lapar Bu” ungkap Wina pada ibunya. Senyum lega dan usapan sayang diiringi pesan untuk selalu memberikan kesenangan pada suami diterima Wina dengan taat.
Sedangkan di kantor Mahesa, Winapun menjadi perbincangan teman-teman kerjanya. Mahesa mulai merasakannya ketika ia naik jabatan menjadi junior art director. Sayangnya bukan karena kepiawaian Wina mengatur rumah tangga juga bukan karena kepandaian Wina berdandan. Rekan-rekan kerja Mahesa lebih suka menanyakan mengapa Mahesa bisa menikahi Wina. Wanita yang tetap saja udik menurut mereka.
Mahesa sering mengajak Wina ke berbagai pertemuan dengan rekan-rekan kerja atau ke acara makan-makan teman kampusnya. Namun belakangan ia merasa kasihan melihat istrinya diam seribu bahasa sedangkan ia asyik membicarakan hal-hal yang istrinya tidak tau. Meskipun begitu ia tidak ingin berpisah dari Wina. Wanita-wanita muda, energik dan cerdas yang sesekali ia ajak menghabiskan malam di kamar hotel tidak bisa menggantikan Wina sebagai  istri. Karena sesungguhnya Winalah martabat tertinggi miliknya. Dengan Wina tetap di sisinya maka lengkaplah ia sebagai lelaki bertanggung jawab dan setia.
Lagi-lagi soal martabat. Martabat Mahesa melonglong meminta diperhatikan ketika dia sekali lagi naik jabatan. Seketika mengangkat martabatnya menjadi begitu agung di kantor. Dunia Mahesa berubah. Menjadi begitu ramai oleh pesta-pesta, pertemuan dengan relasi dan klien di café, teman-teman baru baik lelaki dan wanita. Semuanya membuat Mahesa semakin bergairah menaklukkan gemerlap dunia. Peran sebagai suami dan ayah tetap ia mainkan dengan apik di rumah. Hanya di rumah.
“Semakin bermartabat seseorang, maka keluarganya harus semakin mengerti bahwa orang itu tidak lagi hanya milik keluarga. Aku harus menghadiri begitu banyak meeting, dan setumpuk undangan menggunung di meja kerjaku”
Begitulah Mahesa selalu menerangkan betapa penting dirinya  di kantor dan betapa tinggi martabatnya. Jika sudah begitu Wina akan menelan senyumnya mengingatkan Mahesa mengecup keningnya sebelum berangkat mempertahankan martabat. Ironis ketika semua orang memuji suaminya, mengakuinya sebagai lelaki yang bermartabat tidak begitu halnya dengan Wina. Ia tersenyum getir, mengingat begitu banyak malam yang harus ia nikmati dengan dingin di kamarnya. Dua puluh tahun sudah Wina mendampingi suaminya, selama itu pula Wina menjaga martabat suaminya. Menyulami martabat itu dengan bunga-bunga kesetiaan dan tak jarang ngilu di sekujur tubuh. Tapi terasa sia-sia karena ia semakin jarang mendengar dengkur atau keratan gigi ketika ia terlelap tidur di sampingnya.
Sampai pada ketika Wina benar-benar merasa kesepian. Ia tidak mau lagi sunyi menggagahinya, menidurinya setiap malam. Ia merindukan degup jantung lelaki untuk meninabobokannya. Tetapi Mahesa tidak pernah mengerti. Saat gelap tertelan cahaya purnama Wina sudah tertidur pulas di dekapan seorang lelaki. Tetapi bukan Mahesa. Mereka lelap tertidur di atas ranjang milik Wina dan Mahesa, tidak terdengar deritan pintu tersingkap oleh tangan Mahesa. Harga diri Mahesa yang terkoyak menyulut amarah.
***
 Give me reason but don’t give me choice.. couse I’ll just make the same mistake... James blunt masih terus menyanyi, udara malam terus menari-nari. Wina beringsut meraih pundak Mahesa. Ia sandarkan kepalanya. Mahesa tidak menolak namun ia tetap diam dan terus saja menyetir.
“Apakah bercerai sudah menjadi pilihanmu yang terakhir Pa?” Mahesa merasakan pundaknya mulai basah, tapi ia tetap diam.
“Tidak bisakah kita perbaiki lagi? Demi martabat kita bersama. Dimata anak-anak, keluarga dan orang-orang desa. Aku tidak akan pernah bercerita tentang perselingkuhan Papa dengan wanita-wanita itu, begitu juga sebaliknya. Kemudian kita mulai dari awal lagi. Hidup di desa, mencari cinta Pa bukan martabat”
Mahesa semakin tidak mempunyai kata-kata, Hancur sudah pertahanan dirinya. Ia tidak pernah menyangka istrinya tau perihal wanita lain dalam hidupnya. Teriakan tanpa pikiran utuh pun menggelagak.
”Akan tetap kupulangkan kau ke rumah orangtuamu!”
Mobil terus melaju dalam kecepatan tinggi. Sebentar lagi bintang bercerai dengan malam. Bumi siap menerima limpahan cinta yang meluap dari surya. Tapi, kapan sampai di desa? Entahlah. Jalan pulang kali ini terasa berkelok dan sangat jauh.
Jalan pulang yang dikepung air mata.

Yogyakarta 7 Agustus 2009

2 komentar:

  1. like (n)this yoooo, visualisasinya sangat hidup and I Love it, suka banggget lah.... tapi sedikit kripik yo, hehe, kritik masksudnya... kok ceritane mung iki: perselingkuhan, free sex, cerita mocikari seperti yang kemarin itu, sex and sex lagi. Gak asih toh... suguhkanlah sebuah cerita yang membuat orang semangat beribadah lagi dan kembali ke jalan Tuhan ka... Ini permintaan penggemar lho ka...

    BalasHapus
  2. in Proses bos... wait ya... tingkyu much!

    BalasHapus