Blogroll

Pages

Sabtu, 03 Maret 2012

Nyanyi Sunyi Pesisir


Pendapa rumah Mbah Rekso malam itu tidak ada suara lain. Kecuali suara kami  bertiga. Dan nyayian pesisir yang diantar oleh angin malam. Sengaja. Agar kami lebih khusuk bercerita. Aku, Seorang teman lama, dan Mbah Rekso duduk mengitari meja bundar. Temaram lampu kekuningan membantu kami untuk saling mengenali guratan perasaan. Kadang berupa senyum simpul, kerutan tidak setuju, datar tanpa tarikan dan sesekali tawa lebar tanda kami mulai menerima satu sama lain.
Di hadapan kami, teh panas beraroma melati terkucur ke beberapa cangkir poci. Persis seperti kucuran pipis laki-laki.
Seketika cangkir demi cangkir penuh teh. Pasrah tanpa penolakan. Kubayangkan beberapa cangkir mungil adalah lubang merah, hangat dan basah para wanita. Milik ibuku, adik perempuanku, tetanggaku, milik anak perempuanku dan mungkin milik wanita-wanita yang sama sekali tidak aku kenal atau milikku sendiri.
Kelebat tubuh kekar bapak mengusikku. Menerobos dalam sel-sel kesadaranku. Menghantam-hantamkan kenangan di dinding-dinding hati yang lukanya masih menganga. Bapak mengucurkan cairan dari dalam celananya begitu saja padaku yang masih asik terlelap memeluk boneka. Besokknya mungkin bapak melakukan pada wanita lain di tempatnya berjudi. Kemudian kembali ke rumah, mencecer-cecer cairan yang terkadang lengket seperti lem di sekujur tubuh ibu dan aku. Betapa bapak bebas kencing dimanapun dia mau.
Darah hangat terasa merambat dari kepala ke tanganku lebih cepat. Membuat syarafku menegang dan siap meremukkan seperangkat teh poci. Ucapan wanita paruh baya penyaji poci yang  mempersilakanku minum menghentikan getaran itu. Tapi aku tetap tidak bisa meneguk secangkir teh yang telah membangkitkan kenangan pahit. Aku katakan aku ingin minum kopi. Segelas kopi hitam menjadi penggantinya, tegak menantang.
“Apa yang ingin kau perbuat terhadap kisahku? Menjualnya di lembaran lembaran kertas?” Mbah Rekso menghentak-hentak batang rokoknya dengan jari tulunjuk. Sehingga jatuhlah abu ke dalam asbak. Ringan. Seringan ia mengucapkan pertannyaan yang menerkam tenggorokanku. Kemudian kembali rokok dihisap agak lama. Merah nyala ujung batang rokok dibuatnya. Giras teman lamaku yang membawaku pada mbah Rekso, tersenyum saja sambil menyeruput teh.
“Wajar jika kau butuh uang, karena kau manusia. Wajar juga jika kau menjual kehidupanku, karena kehidupanku sangat istimewa. Aku dilahirkan sebagai penuntun dan penyelamat umat manusia anakku” lanjutnya. Asap rokok telah menguasai setiap celah di pendapa kecil itu. Sedangkan aku tidak banyak bergerak. Hanya sesekali menarik sudut-sudut bibir dan alis tebalku. Sebagai penulis yang sedang mencari bahan tulisan aku memang dituntut untuk banyak mendengarkan.
Kuteguk kopi pahit yang sudah mulai dingin. Dan di luar pendapa masih hitam pekat. Angin pesisir menyerbu ke arah kami, tangkas ku benahi syal di leher. Lalu kutanyakan padanya mengapa ia bilang penyelamat manusia. Sedangkan begitu banyak manusia mengutuki pekerjaannya. Seolah tidak kugubris pernyataannya mengenai kebutuhanku terhadap uang. Aku yakin dia tidak kalah butuh.
“Aku berbuat baik kepada semua orang tanpa pandang bulu anakku. Mulai dari wanita kaya hingga miskin. Muda dan tua. Aku pungut mereka yang terlantar dan terbuang. Aku beri mereka makan agar tidak mati kelaparan. Aku sediakan pekerjaan tanpa syarat berbelit-belit.  Aku beri mereka tempat tinggal di pondokanku yang layak.  Bukankah aku sangat pengasih?” Ia tetap menguasai perkataannya meski beberapa kali ia terbatuk.  Ia tuangkan kembali teh poci. Begitu berkuasa ia terhadap cangkirnya. Asap tipis mengepul, menyembulkan aroma penuh gairah.  
Ingatanku melayang pada beberapa malam yang lalu. Setelah puas menyusuri pantai, merasakan angin malam yang menari-nari diiringi siulan ombak Giras membawaku ke pondokan-pondokan di sepanjang pesisir.  Termasuk ke pondokan mbah Rekso.  Kami terus berjalan kaki. Sepanjang jalan kulihat beberapa wanita dengan dandanan menor. Sebagian diantaranya membiarkan pusarnya dikilik-kilik angin. Kebanyakan berkulit gelap. Bibirnya tak henti-henti memainkan asap rokok, membentuk lingkaran.
”Jangan keluarkan buku catatanmu dan jangan mencatat apapun jika kau tidak ingin membuat mereka takut” Begitu Giras mengingatkanku.
Tawa Giras menyentakku. Aku kembali kepada kesadaran penuh. Menghadapi mbah Rekso. Penguasa atas wanita-wanita yang tengah aku bayangkan. Dialah germo ternama di pesisir. Kenalannya yang banyak mempermudah para wanita yang ia sebut sebagai anak-anaknya mendapatkan pelanggan.  Warung tehnya juga cukup ramai dikunjungi. Pondokannya pun lumayan bagus. Dan yang pasti setiap wanita yang menjadi anaknya, jarang sekali tertangkap polisi.
Dengan polos kutanyakan padanya mengapa ia tidak pernah sekalipun berurusan hukum atas bisnisnya itu. Mungkinkah ia seperti kebanyakan orang yang bebas hukum karena anggota keluarganya penegak hukum.
            “Polisi juga manusia. Setiap akhir bulan, istri mereka pun bisa kesusahan membeli gas. Mau memasak menggunakan kayu bakar, tidak pas dengan rumah gedung yang harus selalu bersih. Kuberikan upeti tinggi pada atasan mereka setiap akhir bulan. Cukup untuk dibagikan kepada anak buahnya.. Damai dan aman bukan?”
            “Gila!” pikirku dalam hati. Pelacuran rupanya telah menjadi bisnis bersama. Tidak hanya mbah Rekso yang merasakan kucuran uang sederas mani orgasme laki-laki. Mbah Rekso memain-mainkan kepulan asap rokoknya yang segera memenuhi ruangan. Membuat kabut tipis. Tapi mukanya tetap terlihat jelas, ia puas dengan segala perbuatanya.
            “Mbah Rekso adalah pembawa kedamaian May, selain ia selamatkan wanita-wanita tidak berpekerjaan ia juga telah menyelamatkan begitu banyak rumah tangga dari kehancuran!” Giras mencecek puntung rokoknya yang sudah habis ke dalam asbak. Beberapa abu yang terlalu penuh meluber ke meja. Santai ia keluarkan sebatang rokok lagi dan mulai menyalakannya. “Ia buat pasangan suami istri yang mulai jenuh dalam perkawinan menjadi romantis dan hot lagi di ranjang. Ha ha!” Tawa Giras menggempur kebisuan malam di pendapa mbah Rekso.
            Senyum tipis tanda puas menyelip di wajah penuh kerut. Ia tanggapi ucapan Giras dengan lirikan nakal pembenaran. Bergantian kupandangi wajah mereka. Aku tidak mengerti dan tentu saja tidak terima dengan pemahaman seperti itu.
            “Akh.. terlalu banyak kasus perceraian dilatarbelakangi oleh perselingkuhan loh!” Sahutku tenang. Kupandang mata mbah Rekso lekat-lekat.
 “Berselingkuh beda dengan cari selimut yang bisa kentut! Kau tidak tau persis soal laki-laki kalau sudah pernah begituan”
Wanita paruh baya penyaji teh poci tadi kembali muncul di hadapan kami bertiga. Mbah Rekso memanggilnya untuk menambah teh. Di tanganku jarum pendek menunjuk angka satu. Sudah waktunya bermimpi sambil memeluk suami. Tapi ia masih segar dan ramah mengisi ulang the poci. Mungkin ia tidak mau tidur tanpa mbah Rekso.
“Laki-laki usia empat puluhan lebih berani melakukan gaya yang sebelumnya kolot dan kurang wajar. Mereka ingin merasakan tehnik yang kerap mereka dengar dari pergaulan. Sedangkan mau bilang sama istri malu, wibawa turun. Apa jadinya kalau kebutuhannya tidak terturuti. Ia akan kalab, mata jadi gelap. Suka marah-marah tidak karuan. Keluarga jadi korban. Pertengkaran sering terjadi. Tetapi setelah kepondokanku, ketemu anak-anak perempuanku semua beres”
“Pulang badan seger, pikiran plong ya mbah. Sama istri jadi lebih sayang. Keluarga damai, rukun sentosa. Ha ha. Apa salahnya kalau sesekali jajan”
Aku ikut tersenyum karena tawa mereka membahana. Kuamati wajah yang penuh garis kisut itu lebih seksama. Deretan giginya menguning tertimpa cahaya lampu. Saat tertawa kerutan di wajahnya semakin banyak. Garis-garis horizontal di dahinya mengukir pendapatku. Tegas dan ambisius.
Perbincangan yang cukup membuatku lelah bersitegang dengan diriku sendiri, akhirnya segera berakhir. Aku sadar sepenuhnya itu adalah hak mbah Rekso. Toh banyak pihak yang melindunginya. Banyak mausia yang ia selamatkan. Ia sudah terlanjur menganggap dirinya menjadi Nabi pembawa damai dan selamat di sepanjang pesisir. Ia sudah terlanjur menganggap dirinya mulia meski ia tidak menuntut orang memuliakannya. Bersamaan dengan rotasi waktu, perubahan terjadi tidak terkecuali keluhuran dan makna. Tidak perlu lagi ada keragu-raguan untuk berekspresi atas manifestasi nurani, termasuk sex. Tidak ada kesakralan berganti kebosanan yang harus terpuaskan. Akh kehidupan…
Mbah Rekso meneguk tehnya. Menyuruhku untuk menghabiskan kopi yang sedari tadi baru dua kali aku teguk. Sebelum berpamitan aku berkelakar, mbah Rekso adalah kopi saya sesungguhnya. Sebab aku sama sekali tidak mengantuk.  Kutarik otot-otot tubuhku begitu berdiri dari tempat duduk. Aku berjalan menembus gelap juga hawa pesisir. Kupandangi langit tapi hanya ada hitam. Aroma laut juga musiknya yang semakin pilu terdengar merayuku untuk mendekat. Giras mengiyakan. Setiap parkiran yang kami lewati terlihat penuh. Warung-warung tenda masih terang benderang menjelang pagi. Bukankah semua itu uang.
***
“Halloo Giras.. ada apa? Aku baru saja tidur”
“May laut marah, kurang lebih satu jam setelah kita pergi!”
“Apaan sich? Laut.. laut mana? Marah sama siapa?” kantuk sedikit mengalah.
“Air laut menggasak pesisir. Ludes. Habis”
“Pesisir mbah Rekso!?” aku tercekat. Kantuk benar-benar sudah menyingkir.
Heranku bertanya, siapa menyapu pesisir hingga habis. Hanya yang mampu menundukkan ombak pada kuasa lengannya. Hanya yang mampu membuat mbah Rekso berdecak telah dikirim nabi sesungguhnya pada umat manusia.
Belum habis gambaran laut yang mengamuk, mendadak aku mencium bau pesing pasir. Ingat bagaimana semalam aku menggulung di atasnya setengah telanjang. Jika anak-anak mbah Rekso melayani tamunya demi imbalan uang, banyak wanita lain bercinta demi imbalan pahala setelah menikah. Kuakui dengan jujur meski belum menikah tapi bapak sejak kecil sudah mengajariku begituan. Malam itupun di tengah perjalanan pulang aku tertarik bercinta dengan teman lamaku. Giras lelaki ke dua setelah bapakku yang mengajariku bercinta. Di pematang sawah sepulang sekolah. Di hadapanya akulah hamparan tanah siap ia garap.
Yogyakarta, 13 Oktober 2009
Telah terbit di koran Bisnis

1 komentar: