Sejenak
kembali merenungi masa remaja. Kembali pada kenangan putih abu-abu. Salah satu
hal yang palilng menyenangkan adalah bisa pulang sekolah lebih awal, bebas dari
tugas rumah, tidak jadi ujian. Bisa membolos ke kantin di tengah-tengah
pelajaran yang membuat mata terkatup katup untuk sekedar jajan atau beberapa menghisap
lintingan produksi pabrik. Hebat, fantastic, wonderful! Begitu hati akan
bersorak sorai ketika mereka berhasil melakukanya.
Sebaliknya,
tambahan jam sekolah yang dimaksudkan untuk meningkatkan kompetensi menjadi hal
yang paling dibenci. Segala bentuk ujian adalah hal paling memuakkan. Dan segala
tutur guru di muka kelas ibarat suara kemrosak karena sinyal semrawut yang
kemudian membuat berontak mencari chanel lain.
Tugas dan tantangan seorang ‘pendidik’ di dalam gedung berlabel sekolah memang semakin menjadi. Tidak hanya menghadapi kebutuhan zaman yang bukan main gilanya ‘mulai dari istilah modern, teknologi sampai globalisasi’ tetapi juga menghadapi generasi muda yang semakin komplek ‘mulai generasi yang hanya mengandalkan otak, sampai BB, Android, yang full of Bokep’.
Mungkin tiga paragraph pembuka di atas teramat sentimentil dan terkesan sebagai penghakiman terhadap potret buruk pendidikan. Memang tidak dipungkiri penulis bahwa kondisi di atas tidak serta merta terjadi pada seluruh aspek pendidikan Indonesia. Tetapi setidaknya, bagi para guru-guru sekolah yang ‘seadanya’ yang bukan ‘sekolah favorite atau unggulan’ pastilah sedikit banyak merasakanya. Bahkan mungkin beberapa di sekolah-sekolah yang katanya favorite dan unggulan. Dengan kesadaran itu penulis sungguh berharap semangat bukanya meredup tetapi makin membara. Makin garang. Pendidik tak boleh menyerah. Meski tetap sadar bahwa pendidik tetap tidak bisa memaksakan seseorang untuk belajar tetapi setidaknya peluang untuk menyediakan kesempatan anak-anak belajar itu masih ada.
Beberapa
hari lalu Gubug Ilmu berkesempatan untuk berada di tengah-tengah remaja
berseragam putih abu-abu. Masih di dalam komplek sekolah. Luas yang terpagar
tinggi. Semangat putih abu-abu meluap. Semangat pemberontakan, semangat
pembuktian, semangat pembebasan. Begitulah setidaknya yang bisa Gubug Ilmu rasakan
dari raut-raut muka penyandang putih abu-abu yang selalu punya banyak alasan
untuk tidak belajar di dalam kelas. Yang selau punya beribu agenda untuk bisa
mangkir dari belajar tambahan. Maklum.
Dan akhirnya,
beginilah suasana siang menjelang sore Gubug bersama remaja putih abu-abu. Bermain
saja. Membiarkan mereka berekpresi. Membebaskan. Sedikit memberikan kemanjaan
yang bersarat. Bukankah lebih efektif daripada paksaan yang berbuah
pemberontak.
Sepulang
dari Sekolah Gubug kemudian mengambil buku ‘Contemporary Theories of Learning:
Learning Theorists... in their own words’ untuk melakukan refleksi dan kembali
belajar untuk belajar. Bab pertama ditulis Knud Illeris ‘A comprehensive
understanding of human learning’. Singkatnya betapa gubug kemudian memang masih
harus banyak belajar untuk belajar. Pemahaman mengenai belajar tidaklah mudah. Apalagi
jika harus mengambil peran sebagai Pengajar.
‘Learning can broadly
be defined as any process that inliving organisms leads to permanent capacity
change and which is not solely due to biological maturation or ageing’
(Illeris 2007, p.3)
Illeris
menggambarkan skema ‘learning’ sebagai berikut;
Untuk penjelasan lebih detailnya, Gubug akan baca lebih seksama dulu. besok baru kembali lagi untuk berbagi. :)
so, what is Gubug's position in that 'putih-abu2' world?
BalasHapusWe gathered there to learn English especially conversation. Gubug as tutor. We move from one to another school. Its such a way to know hows the real condition of young learners. :)
BalasHapus