Tidak ada yang sama dalam kehidupan ini. Tidak ada yang sewarna. semua tahu pelangi lebih indah jika berupa rupa, langit lebih elok saat lembayung menyaput warni. Namun meski semua tahu tidak ada yang sama, semua tidak tahu bagaimana dan apa yang tidak sama itu. Jingga kah, kuning, atau merah. Dan aku tentu tak ingin sok tahu.
Gubug kemarin berwarna merah, kemarin lusa lebih menyala. Beberapa waktu lalu mungkin orange, mungkin juga hitam. Dan dua minggu yang lalu anak-anak Gubug berwarna warni menaburi tepian parit. Menyanyi, mencari tahu bahasa lain dari sesuatu. Sungguh semarak.
Setidaknya apa yang ditulis oleh Paul untuk membuka rentetan pembahsan dalam 'How to get children success" mewakili kegelisahan setiap pengajar, maupun para pendamping anak-anak.
Apa sesungguhnya yang kita inginkan untuk mereka, atau mungkinkah kita menginginkan sesuatu dari mereka. Benarkah kita menginginkan mereka bahagia atau menginginkan kebahagian mereka untuk kebahagiaan kita, saat ini.
Setiap pagi hingga tengah hari, anak-anak tumbuh di dalam ruang kelas. Duduk, mendengarkan, mengerjakan worksheet, bermain dalam alur permainan yang sudah direncanakan.
Semua semata karena sekarang anak-anak tumbuh di tengah masyarakat yang percaya pahwa kesuksesan tergantung pada ketrampilan kognitif. Keterampilan dan kecerdasan anak-anak yang kemudian diukur dalam test yang sering disebut test IQ. Dimana dalam test tersebut kemampuan membaca dan berhitung sebagai patokan utama.
sesungguhnya paham seperti di atas merupakan paham lama. Para pengajar dan orang-orang terpelajar di Indonesia seharusnya telah banyak mengenyam tentang teori kecerdasan. Namun kenapa eh kenapa praktek dilapangan masih melulu seputar "Cognitive skill". Tidak hanya di bangku sekola formal, sampai lembaga kursus pun mati-matian mempertaruhkan nama demi nilai bagus saat ujian.
*Tepok Jidat.. ajar nulis wes suwi ra nulis
0 komentar:
Posting Komentar