Pendapa
rumah Mbah Rekso malam itu tidak ada suara lain. Kecuali suara kami bertiga. Dan nyayian pesisir yang diantar
oleh angin malam. Sengaja. Agar kami lebih khusuk bercerita. Aku, Seorang teman
lama, dan Mbah Rekso duduk mengitari meja bundar. Temaram lampu kekuningan
membantu kami untuk saling mengenali guratan perasaan. Kadang berupa senyum
simpul, kerutan tidak setuju, datar tanpa tarikan dan sesekali tawa lebar tanda
kami mulai menerima satu sama lain.
Di
hadapan kami, teh panas beraroma melati terkucur ke beberapa cangkir poci.
Persis seperti kucuran pipis laki-laki.
Seketika cangkir demi cangkir penuh teh. Pasrah tanpa penolakan. Kubayangkan beberapa cangkir mungil adalah lubang merah, hangat dan basah para wanita. Milik ibuku, adik perempuanku, tetanggaku, milik anak perempuanku dan mungkin milik wanita-wanita yang sama sekali tidak aku kenal atau milikku sendiri.
Seketika cangkir demi cangkir penuh teh. Pasrah tanpa penolakan. Kubayangkan beberapa cangkir mungil adalah lubang merah, hangat dan basah para wanita. Milik ibuku, adik perempuanku, tetanggaku, milik anak perempuanku dan mungkin milik wanita-wanita yang sama sekali tidak aku kenal atau milikku sendiri.
Kelebat
tubuh kekar bapak mengusikku. Menerobos dalam sel-sel kesadaranku.
Menghantam-hantamkan kenangan di dinding-dinding hati yang lukanya masih
menganga. Bapak mengucurkan cairan dari dalam celananya begitu saja padaku yang
masih asik terlelap memeluk boneka. Besokknya mungkin bapak melakukan pada
wanita lain di tempatnya berjudi. Kemudian kembali ke rumah, mencecer-cecer
cairan yang terkadang lengket seperti lem di sekujur tubuh ibu dan aku. Betapa
bapak bebas kencing dimanapun dia mau.
Darah
hangat terasa merambat dari kepala ke tanganku lebih cepat. Membuat syarafku
menegang dan siap meremukkan seperangkat teh poci. Ucapan wanita paruh baya penyaji
poci yang mempersilakanku minum
menghentikan getaran itu. Tapi aku tetap tidak bisa meneguk secangkir teh yang
telah membangkitkan kenangan pahit. Aku katakan aku ingin minum kopi. Segelas
kopi hitam menjadi penggantinya, tegak menantang.
“Apa
yang ingin kau perbuat terhadap kisahku? Menjualnya di lembaran lembaran
kertas?” Mbah Rekso menghentak-hentak batang rokoknya dengan jari tulunjuk.
Sehingga jatuhlah abu ke dalam asbak. Ringan. Seringan ia mengucapkan
pertannyaan yang menerkam tenggorokanku. Kemudian kembali rokok dihisap agak
lama. Merah nyala ujung batang rokok dibuatnya. Giras teman lamaku yang membawaku
pada mbah Rekso, tersenyum saja sambil menyeruput teh.
“Wajar
jika kau butuh uang, karena kau manusia. Wajar juga jika kau menjual
kehidupanku, karena kehidupanku sangat istimewa. Aku dilahirkan sebagai
penuntun dan penyelamat umat manusia anakku” lanjutnya. Asap rokok telah menguasai
setiap celah di pendapa kecil itu. Sedangkan aku tidak banyak bergerak. Hanya
sesekali menarik sudut-sudut bibir dan alis tebalku. Sebagai penulis yang
sedang mencari bahan tulisan aku memang dituntut untuk banyak mendengarkan.
Kuteguk
kopi pahit yang sudah mulai dingin. Dan di luar pendapa masih hitam pekat. Angin
pesisir menyerbu ke arah kami, tangkas ku benahi syal di leher. Lalu kutanyakan
padanya mengapa ia bilang penyelamat manusia. Sedangkan begitu banyak manusia
mengutuki pekerjaannya. Seolah tidak kugubris pernyataannya mengenai
kebutuhanku terhadap uang. Aku yakin dia tidak kalah butuh.
“Aku
berbuat baik kepada semua orang tanpa pandang bulu anakku. Mulai dari wanita
kaya hingga miskin. Muda dan tua. Aku pungut mereka yang terlantar dan
terbuang. Aku beri mereka makan agar tidak mati kelaparan. Aku sediakan
pekerjaan tanpa syarat berbelit-belit.
Aku beri mereka tempat tinggal di pondokanku yang layak. Bukankah aku sangat pengasih?” Ia tetap
menguasai perkataannya meski beberapa kali ia terbatuk. Ia tuangkan kembali teh poci. Begitu berkuasa
ia terhadap cangkirnya. Asap tipis mengepul, menyembulkan aroma penuh gairah.
Ingatanku
melayang pada beberapa malam yang lalu. Setelah puas menyusuri pantai,
merasakan angin malam yang menari-nari diiringi siulan ombak Giras membawaku ke
pondokan-pondokan di sepanjang pesisir.
Termasuk ke pondokan mbah Rekso. Kami terus berjalan kaki. Sepanjang jalan
kulihat beberapa wanita dengan dandanan menor. Sebagian diantaranya membiarkan
pusarnya dikilik-kilik angin. Kebanyakan berkulit gelap. Bibirnya tak
henti-henti memainkan asap rokok, membentuk lingkaran.
”Jangan keluarkan buku catatanmu dan
jangan mencatat apapun jika kau tidak ingin membuat mereka takut” Begitu Giras
mengingatkanku.
Tawa Giras menyentakku. Aku kembali kepada
kesadaran penuh. Menghadapi mbah Rekso. Penguasa atas wanita-wanita yang tengah
aku bayangkan. Dialah germo ternama di pesisir. Kenalannya yang banyak
mempermudah para wanita yang ia sebut sebagai anak-anaknya mendapatkan
pelanggan. Warung tehnya juga cukup
ramai dikunjungi. Pondokannya pun lumayan bagus. Dan yang pasti setiap wanita
yang menjadi anaknya, jarang sekali tertangkap polisi.
Dengan
polos kutanyakan padanya mengapa ia tidak pernah sekalipun berurusan hukum atas
bisnisnya itu. Mungkinkah ia seperti kebanyakan orang yang bebas hukum karena
anggota keluarganya penegak hukum.
“Polisi juga manusia. Setiap akhir
bulan, istri mereka pun bisa kesusahan membeli gas. Mau memasak menggunakan
kayu bakar, tidak pas dengan rumah gedung yang harus selalu bersih. Kuberikan
upeti tinggi pada atasan mereka setiap akhir bulan. Cukup untuk dibagikan
kepada anak buahnya.. Damai dan aman bukan?”
“Gila!” pikirku dalam hati.
Pelacuran rupanya telah menjadi bisnis bersama. Tidak hanya mbah Rekso yang
merasakan kucuran uang sederas mani orgasme laki-laki. Mbah Rekso memain-mainkan
kepulan asap rokoknya yang segera memenuhi ruangan. Membuat kabut tipis. Tapi
mukanya tetap terlihat jelas, ia puas dengan segala perbuatanya.
“Mbah Rekso adalah pembawa kedamaian
May, selain ia selamatkan wanita-wanita tidak berpekerjaan ia juga telah
menyelamatkan begitu banyak rumah tangga dari kehancuran!” Giras mencecek
puntung rokoknya yang sudah habis ke dalam asbak. Beberapa abu yang terlalu
penuh meluber ke meja. Santai ia keluarkan sebatang rokok lagi dan mulai menyalakannya.
“Ia buat pasangan suami istri yang mulai jenuh dalam perkawinan menjadi
romantis dan hot lagi di ranjang. Ha ha!” Tawa Giras menggempur kebisuan malam
di pendapa mbah Rekso.
Senyum tipis tanda puas menyelip di
wajah penuh kerut. Ia tanggapi ucapan Giras dengan lirikan nakal pembenaran.
Bergantian kupandangi wajah mereka. Aku tidak mengerti dan tentu saja tidak
terima dengan pemahaman seperti itu.
“Akh.. terlalu banyak kasus
perceraian dilatarbelakangi oleh perselingkuhan loh!” Sahutku tenang. Kupandang
mata mbah Rekso lekat-lekat.
“Berselingkuh beda dengan cari selimut yang
bisa kentut! Kau tidak tau persis soal laki-laki kalau sudah pernah begituan”
Wanita
paruh baya penyaji teh poci tadi kembali muncul di hadapan kami bertiga. Mbah
Rekso memanggilnya untuk menambah teh. Di tanganku jarum pendek menunjuk angka
satu. Sudah waktunya bermimpi sambil memeluk suami. Tapi ia masih segar dan
ramah mengisi ulang the poci. Mungkin ia tidak mau tidur tanpa mbah Rekso.
“Laki-laki
usia empat puluhan lebih berani melakukan gaya
yang sebelumnya kolot dan kurang wajar. Mereka ingin merasakan tehnik yang
kerap mereka dengar dari pergaulan. Sedangkan mau bilang sama istri malu,
wibawa turun. Apa jadinya kalau kebutuhannya tidak terturuti. Ia akan kalab,
mata jadi gelap. Suka marah-marah tidak karuan. Keluarga jadi korban.
Pertengkaran sering terjadi. Tetapi setelah kepondokanku, ketemu anak-anak
perempuanku semua beres”
“Pulang
badan seger, pikiran plong ya mbah. Sama istri jadi lebih sayang. Keluarga
damai, rukun sentosa. Ha ha. Apa salahnya kalau sesekali jajan”
Aku
ikut tersenyum karena tawa mereka membahana. Kuamati wajah yang penuh garis
kisut itu lebih seksama. Deretan giginya menguning tertimpa cahaya lampu. Saat
tertawa kerutan di wajahnya semakin banyak. Garis-garis horizontal di dahinya
mengukir pendapatku. Tegas dan ambisius.
Perbincangan
yang cukup membuatku lelah bersitegang dengan diriku sendiri, akhirnya segera
berakhir. Aku sadar sepenuhnya itu adalah hak mbah Rekso. Toh banyak pihak yang
melindunginya. Banyak mausia yang ia selamatkan. Ia sudah terlanjur menganggap
dirinya menjadi Nabi pembawa damai dan selamat di sepanjang pesisir. Ia sudah
terlanjur menganggap dirinya mulia meski ia tidak menuntut orang memuliakannya.
Bersamaan dengan rotasi waktu, perubahan terjadi tidak terkecuali keluhuran dan
makna. Tidak perlu lagi ada keragu-raguan untuk berekspresi atas manifestasi
nurani, termasuk sex. Tidak ada kesakralan berganti kebosanan yang harus
terpuaskan. Akh kehidupan…
Mbah
Rekso meneguk tehnya. Menyuruhku untuk menghabiskan kopi yang sedari tadi baru
dua kali aku teguk. Sebelum berpamitan aku berkelakar, mbah Rekso adalah kopi saya
sesungguhnya. Sebab aku sama sekali tidak mengantuk. Kutarik otot-otot tubuhku begitu berdiri dari
tempat duduk. Aku berjalan menembus gelap juga hawa pesisir. Kupandangi langit
tapi hanya ada hitam. Aroma laut juga musiknya yang semakin pilu terdengar
merayuku untuk mendekat. Giras mengiyakan. Setiap parkiran yang kami lewati terlihat
penuh. Warung-warung tenda masih terang benderang menjelang pagi. Bukankah
semua itu uang.
***
“Halloo
Giras.. ada apa? Aku baru saja tidur”
“May
laut marah, kurang lebih satu jam setelah kita pergi!”
“Apaan
sich? Laut.. laut mana? Marah sama siapa?” kantuk sedikit mengalah.
“Air
laut menggasak pesisir. Ludes. Habis”
“Pesisir
mbah Rekso!?” aku tercekat. Kantuk benar-benar sudah menyingkir.
Heranku
bertanya, siapa menyapu pesisir hingga habis. Hanya yang mampu menundukkan
ombak pada kuasa lengannya. Hanya yang mampu membuat mbah Rekso berdecak telah
dikirim nabi sesungguhnya pada umat manusia.
Belum
habis gambaran laut yang mengamuk, mendadak aku mencium bau pesing pasir. Ingat
bagaimana semalam aku menggulung di atasnya setengah telanjang. Jika anak-anak
mbah Rekso melayani tamunya demi imbalan uang, banyak wanita lain bercinta demi
imbalan pahala setelah menikah. Kuakui dengan jujur meski belum menikah tapi
bapak sejak kecil sudah mengajariku begituan. Malam itupun di tengah perjalanan
pulang aku tertarik bercinta dengan teman lamaku. Giras lelaki ke dua setelah
bapakku yang mengajariku bercinta. Di pematang sawah sepulang sekolah. Di
hadapanya akulah hamparan tanah siap ia garap.
Yogyakarta, 13 Oktober 2009
Telah terbit di koran Bisnis
Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.
BalasHapus